Desa, sebuah objek yang makin populer di negara kita belakangan ini. Program TNI masuk desa cukup menarik perhatian. Program dokter masuk desa juga tak kalah menariknya. Program masuk desa lainnya yang juga tak kalah menariknya ialah program jaksa masuk desa, dan sudah tentu tak akan ketinggalan program hakim masuk desa, serta dengan sendirinya perlu ada program pembela masuk desa. Kalau yang sudah berjalan lebih dahulu secara terprogram ialah mahasiswa masuk desa alias Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Semua program masuk desa tersebut antara lain dimaksudkan untuk mendorong kaum terpelajar agar mau bekerja membangun desa dan tidak meremehkan atau menyepelekan pekerjaan-pekerjaan di desa, agar kaum terpelajar sadar bahwa desa juga memerlukan kaum terpelajar seperti halnya di kota
Program masuk desa tersebut memang pantas dilakukan dan perlu ditanggapi secara positif, karena negara kita 80% terdiri dari daerah pedesaan. Kalau ingin mengetahui sampai sejauh mana kemajuan bangsa dan negara kita, lebih tepat berpaling ke desa, karena kotanya hanya 20% sehingga tidak representatif untuk suatu kesimpulan yang bertaraf nasional.
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan untuk mendorong kaum terpelajar mencintai pekerjaan di desa, toh masih banyak terdengar keluhan tentang keengganan kaum terpelajar untuk terjun menjadi pahlawan pembangunan desa. Kaum terpelajar umumnya tetap berkeliaran di kota-kota, walaupun mungkin tanpa kepastian tentang pekerjaan apa yang akan dilakukan di kota. Konon banyak kaum terpelajar yang bekerja apa saja di kota untuk mempertahankan hidup, meskipun pekerjaan yang dijalankan kebanyakan tidak cocok dengan keahlian yang diperoleh di bangku sekolah.
Padahal bila ditelusuri kembali, sebenarnya usaha untuk mendorong kaum terpelajar terjun bekerja di desa sudah berlangsung cukup lama. Perguruan Tinggi sebagai pusat penghasil tenaga kerja terpelajar sudah sejak dahulu mengembangkan program mahasiswa masuk desa. Dalam tahun 1951 telah ada program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang dapat dikatakan sebagai cikal bakalnya KKN yang sedang giatnya dilaksanakan sekarang ini.
Ini bukan berarti bahwa program masuk desa tersebut gagal total. Program tersebut pada segi-segi tertentu juga membawa hasil, seperti halnya bertumbuhnya kesadaran masyarakat desa tentang potensi-potensi yang ada di desanya, serta kesadaran tentang perlunya cara-cara kerja modern agar dapat memanfaatkan secara maksimal potensi-potensi tersebut.
Namun, sayangnya program masuk desa tersebut tidak sampai memikat para mahasiswa sehingga setelah tamat mau kembali menggumuli kehidupan di desa. Ibarat gadis manis yang ditinggal pergi oleh kekasihnya dan tak mau kembali lagi, begitulah nasibnya daerah pedesaan yang dijadikan objek program mahasiswa masuk desa. Entah si gadis manis yang mempunyai cacat, atau si lelakilah yang bermental play-boy, nampaknya perlu dikaji lagi.
Bila dipersoalkan apa sebabnya para mahasiswa enggan bekerja di desa setelah tamat, maka jawabannya sudah tentu akan beraneka ragam. Ada pihak yang mempersoalkan berbagai keterbatasan yang ada di desa, misalnya keterbatasan kemungkinan berusaha, atau terbatasnya kebutuhan-kebutuhan hidup. Seorang dokter yang bekerja di desa misalnya, kemungkinan besar penghasilannya sangat terbatas, karena masyarakat desa di samping belum dokter minded juga daya bayar mereka relatif masih rendah.
Sebenarnya bukan hanya kaum terpelajar yang enggan bekerja di desa, tetapi orang desa pun banyak yang tidak betah tinggal di desanya. Banyak orang desa yang pergi ke kota-kota untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang memang kian hari kian bertambah hingga memperluas daerah kota, atau untuk bekerja apa saja, walaupun hasil yang diperoleh mungkin hanya cukup untuk mengisi periuk nasi hari lepas hari.
Dengan demikian isu tentang situasi dan kondisi desa yang tidak menarik untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat kerja memang dapat diterima. Namun, demikian lalu muncul pertanyaan: siapakah yang berkompeten menyulap desa menjadi surga tempat tinggal dan tempat kerja? Bukankah itu merupakan tugas dan tanggung jawab kaum terpelajar, terutama lulusan Perguruan Tinggi?
Kalau mau dicari kambing hitamnya sebenarnya mudah saja. Anggap saja Perguruan Tinggi gagal menempa mental para masukannya agar setelah tamat mau terjun menjadi penggerak pembangunan desa. Namun, pengambinghitaman seperti ini jelas tidak akan menyelesaikan persoalan.
Perguruan Tinggi yang sudah syarat dengan persoalan akan semakin syarat saja jadinya dan mungkin akan sulit merespons secara cepat dan tepat. Dan memang persoalan di atas bukan hanya merupakan tanggung jawab Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan formal, tetapi keluarga dan masyarakat pun ikut andil di dalamnya.
Dalam kehidupan keluarga, tidak sedikit orang tua yang mengharapkan agar anaknya kemudian akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan orang tua, terutama bila orang tua merasa bahwa pekerjaan yang dijalankan hasilnya minim dan membuat status sosial keluarga menjadi rendah.
Banyak keluarga petani di desa misalnya yang anak-anaknya sejak kecil sudah dipesan agar menghindarkan sedapat-dapatnya pekerjaan sebagai petani. Demikian pula keluarga peternak, keluarga pandai besi, dan keluarga lainnya. Akibatnya si anak merasa bahwa hampir semua pekerjaan yang ada di desa adalah pekerjaan rendah yang hasilnya sedikit dan tidak dapat mengangkat status sosial keluarga. Anak kemudian mencita-citakan suatu kehidupan yang hanya bisa dicapai di kota-kota, dan tidak jarang cita-cita tersebut begitu ideal sehingga kemungkinan untuk mencapainya hanyalah soal untunguntungan saja.
Bila kita mencoba bertanya pada anak-anak desa tentang apa cita-cita mereka, sulit kita temukan anak-anak desa yang bercita-cita menjadi petani, peternak, tukang, dan lain-lainnya seperti halnya orang tua mereka. Mereka umumnya bercita-cita menjadi dokter, insinyur, hakim, pilot, dll yang memang status sosialnya tinggi di mata masyarakat.
Namun, bila suatu saat seorang anak desa dapat mencapai cita-cita seperti di atas, untuk kembali bekerja di desa ia akan berpikir seribu kali, karena dengan pulang ke desa kemungkinan imbalan yang diperolehnya melalui pekerjaannya di desa tidak memadai dan mungkin tidak berimbang dengan pengeluaran di bangku sekolah.
Yang jelas bila keluarga masih mempunyai anggapan yang keliru tentang nilai berbagai pekerjaan, bila anak selalu hidup dalam lingkungan masyarakat yang individualismenya lebih menonjol , bila sekolah tidak menggunakan secara tepat metode-metode mengajar yang community oriented, maka kemungkinan besar jumlah lulusan Perguruan Tinggi yang mau bekerja di desa akan tetap dapat dihitung dengan mudah.
Mereka Enggan Bekerja di Desa